SRIKANDI DAN KEBOCORAN INFORMASI

Oleh Rusidi, S.IP, M.M.

Bahagia yang sangat luar biasa dan rasa heran sulit sekali hilang dari pikiran ketika diawal kantor saya menggunakan aplikasi SRIKANDI sebagai media atau sarana penyelenggaraan arsip dinamis yang salah satunya dalam penciptaan dan pendistribusian arsip. Bagaimana tidak heran? Dalam waktu kurang dari setengah jam dapat menyelesaikan surat mulai dari mengkonsep, mengetik, memaraf/memverifikasi, mengesahkan, sampai mengirim ke alamat tujuan yang cukup jauh yaitu dari Jogja ke Samarinda dan dalam waktu kurang setengah jam surat sudah diterima di Samarinda. Benar-benar luar biasa karena hal seperti ini bagi saya belum pernah terjadi sebelumnya.

Pada saat itulah saya bangga dan bersemangat mengkampayekan aplikasi Srikandi dengan yel-yel yang cukup viral minimal di lingkungan lembaga binaan saya yaitu aplikasi SRIKANDI bukan aplikasi biasa, aplikasi SRIKANDI harga mati, dan aplikasi SRIKANDI bikin geli. Mengapa saya menggunakan yel-yel tersebut sudah saya tulis di artikel sebelumnya dan dimuat di website PakRus.id

Dalam perkembangannya, kegelian terhadap SRIKANDI tidak hanya seringnya “uwer-uwer” tetapi juga pernah adanya kasus “kena Hack” yang konon mengakibatkan pada hilangnya sebagian data/arsip elektronik yang berada didalam aplikasi. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Sangat perlu didiskusikan lebih lanjut dan mendalam karena merupakan masalah kearsipan tidak bisa dibuat main – main karena dalam Undang – Undang Nomor 43 Tahun 2009 terdapat ancaman sanksi administratif dan ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 78 sampai 88.

Selain itu juga adanya kasus yang sangat menarik terjadi di salah institusi terkait SRIKANDI yaitu sebuah institusi menerima surat dari mitra kerja melalui aplikasi SRIKANDI. Surat dikendalikan/registrasi oleh admin di Bagian Tata Usaha. Surat dinaikan ke pimpinan tertinggi (eselon 2). Kemudian oleh pimpinan tertinggi didisposisi ke eselon di bawahnya (eselon 3). Eselon 3 mendisposisi ke pejabat/staff dibawahnya sebut saja Suridi.

Ketika Suridi membuka aplikasi, setelah login, buka menu surat masuk, lalu buka menu disposisi, dan menemukan kata disposisi “tindaklanjuti”. Kemudian Suridi mulai berpikir untuk menindaklanjut surat tersebut dengan terlebih dahulu melakukan komunikasi dengan lembaga/mitra yang mengirim surat.

Betapa terkejutnya Suridi ketika menghubungi mitra pengirim surat, karena ternyata surat ada pengiriman personil via telpon oleh teman Suridi, sebut saja nama Kunun.

Pertanyaan besarpun muncul dipikiran Suridi. Mengapa bisa terjadi hal seperti ini? Mengapa Kunun bisa mengirim personil pada hal yang bersangkutan tidak mendapat disposisi dari pimpinan? Dari mana Kunun mengetahui kalau ada permintaan personil atau disposisi tersebut? Apakah Kunun dapat melihat atau membaca disposisi pimpinan yang ditujukan ke staf? Ataukah ada staf yang membocorkan isi disposisi tersebut?

Kasus seperti ini harus segera diatasi karena bisa mengakibatkan terjadinya “jual-beli informasi”. Minimal akan menimbulkan suasana kerja yang tidak kondusif dan mencemarkan nama baik lembaga. Seperti kasus diatas, seandainya Suridi langsung menindaklanjut disposisi dengan mengirim surat balasan yang berupa pengiriman personil yang namanya/identitasnya berbeda dengan yang dikirimkan Kunun pasti akan menimbulkan masalah seperti gesekan/ada rasa tidak nyaman diantara personil yang namanya dikirim. Minimal lembaga/mitra akan berpikir negatif, kalau lembaga pengirim kurang koordinasi, jalan sendiri-sendiri, ada personal yang punya kepentingan tertentu, dan lain-lain.

Oleh karena itu lembaga yang berwenang terkait aplikasi SRIKANDI hendaknya membuat ketentuan yang jelas dan tegas. Siapa dan punya kewenangan apa? Dan ketika terjadi pelanggaran terhadap kewenangan, apa sanksi yang harus diberikan? Hal ini sangat penting karena efek dari penyalahgunakan informasi, jual beli informasi sekecil apapun akan merugikan dan mempengaruhi pencapaian tujuan organisasi.

Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *